HOME OPINI OPINI

  • Senin, 7 Januari 2019

Bohong

Gamawan Fauzi
Gamawan Fauzi

Bohong, berbohong, dibohongi, adalah kata, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua, disebutkan bahwa  bohong bermakna "tidak sesuai dengan hal (keadaan) yang sebenarnya, dusta. Sementara berbohong, adalah menyatakan sesuatu yang tidak benar.
Belakangan ini kata bohong menjadi  ramai terdengar, apalagi setelah media komunikasi menjanjikan kemudahan menyampaikan sesuatu kepada siapa saja melalui koran, facebook, tweeter dan media sosial lainnya, atau televisi yang makin banyak. Dalam bahasa media sosial,  bohong itu disebut hoak, berasal dari kata hoax.
Dewasa ini bohong terasa makin menjamur, hidup subur dalam dunia kita. Berbohong sepertinya bukan lagi "cacat moral" apalagi dirasakan sebagai  "dosa" bagi seorang muslim, hingga lama lama kita merasa tak tau lagi mana yang sebenarnya dan mana yang bohong. 
Atau makin lama kita juga meragukan sesuatu yang benar sebagai bohong. Sebaliknya sesuatu yang bohong kita anggap benar. 
Atau  bisa pula suatu saat kebenaran dan kebohongan sama sama kita ragukan. Tidak jelas mana yang benar. Blur! dan sama sama dirasakan sebagai kebenaran.
Apalagi jika kebohongan dan kebenaran yang blur itu, sama-sama diyakini sebagai kebenaran! Barabe jadinya.
Dalam dunia intelijen (penggalangan), atau politik, bila kebohongan dipercaya orang banyak, maka misi dianggap berhasil. Yang bohong merasa puas karena sukses membohongi target, sesuai dengan skenario si perancang.
Bohong pada masa lalu di sampaikan dari mulut ke mulut. Sekarang bohong disampaikan melalui media. Beragam media tersedia. 
Karena banyaknya instrumen berbohong tersedia dan makin canggih, seolah memberi jalan untuk beranak pinaknya kebohongan. 
Jadi media (apa saja), bisa jadi alat menyampaikan kebenaran dan bisa juga jadi alat menyampaikan kebohongan. 
Saya bertanya kepada seorang pakar komunikasi, seorang guru wartawan tentang itu. Katanya disitulah diperlukan kecerdasan pembaca. Media hanya penyaji, pasar yang membeli. Pembelinya yang menyeleksi mana yang bohong dan tidak benar. Karena media bukan lagi hanya alat perjuangan mencerdaskan bangsa, tapi juga sebuah usaha bisnis, prinsipnya sederhana, yaitu laku dibeli pasar.
Saya mengangguk angguk memahami. Ada yang terasa. Tapi tak terkatakan. 
Tapi dikesendirian saya merenungkan. Apakah itu akan terus  bergulir ? Apakah teori pasar akan menjadi kepribadian kita? Apakah ada alat memperbaiki pasar bila pasar tak lagi sehat ? Apakah teori teori komunikasi yang dipahami adalah suatu kebenaran yang tak terbantahkan ? Apakah kebenaran berbanding lurus dengan kemenangan dan sukses yang tampak? 
Banyak orang yang merasa bahwa kalau sudah merujuk teori yang datang dari Amerika atau Eropa itu adalah benar dan sangat dipercaya, karena sudah teruji mampu memajukan bangsanya.
Menurut hemat saya, tesis itu bisa menjadi perdebatan panjang. Karena ukuran sukses itu sendiri dapat dilihat dari beragam sisi.
Tapi terlepas dari itu semua, saya kira di belahan dunia manapun, secara umum berbohong masih dianggap sesuatu yang tak pantas, cacat moral dan memalukan.
Lebih dari itu, dilihat dari kacamata agama (Islam), bohong adalah perbuatan keji yang dikutuk Allah. Dalam Al Quran banyak disebut kata bohong.
Dalam surat An Nur, pada ayat 11 hingga  20, Allah mengecam keras orang berbohong dan menyebar berita bohong. Azbabunnuzul ayat tersebut konon berawal dari peristiwa bohong  dari kisah Aisyah Radhiallahu Anhu yang tertinggal dari rombongan sepulang dari suatu peperangan, lalu di selamatkan oleh seorang pemuda yang bernama Sofwan. Kemudian berkembang menjadi isue selingkuh. Bunda Aisyah di fitnah dari mulut ke mulut. Allah kemudian mencela perbuatan bohong dan penyebar kebohongan itu dengan azab yang pedih.
Kita sepertinya sedang hidup dalam masa keemasan bohong. Handphone seluler kita makin dipenuhi kabar-kabar bohong. Sehingga penerima kabar perlu bertanya atau cari second opinion. Hei saya dapat whatsapp ini, benar gak ya? 
Para pengguna whatsapp pun menjadi makin sibuk. Pulsa makin laku. Lalu bisnis mesin pencari google pun makin beruntung. Ujungnya, biaya hidup masyarakat pun bertambah.
Tapi itu sisi lain... Bagian pentingnya adalah; pernahkah terpikir oleh kita, berapa korban yang telah jatuh akibat kebohongan yang meruyak dan menggurita hingga hitungan berkuadrat-kuadrat itu?
Berapa besar dosa para penyebar kebohongan dan mereka yang menyebarkannya?
Apa yang sudah kita perbuat? Mungkin ikut bersama pembohong dengan cara menyebarkan kebohongan? Atau malah kita sendiri si pembohong itu?


Tag :KolomGf

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com