HOME OPINI OPINI

  • Senin, 25 November 2019

Menguak Nilai Kehidupan Dalam Sipak Rago

Masrizal Rajo Basa (Pamong Budaya Sumatera Barat)
Masrizal Rajo Basa (Pamong Budaya Sumatera Barat)

Menguak Nilai Kehidupan dalam Sipak Rago

Oleh: Masrizal*

Kajian-kajian kebudayaan selalu terkait dengan nilai dan norma yang terdapat dalam konteks sosial tertentu yang telah terkonstruksi secara alamiahsejak lama dalam suatu etnis.Nilai dan norma tersebut menjadi pembeda antara etnis yang satu dengan yang lainnya. Terkadang pesan-pesan tentang nilai-nilai dan norma tersebut diwujudkan melalui simbol-simbol yang dimiliki bersama. Pesan-pesan komunal tersebut dipahami dan diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun temurun.

Clifford Geertz mengatakan bahwa para anggota masyarakat memiliki bersama sistem simbol dan makna  yang disebut kebudayaan. Sistem tersebut merepresentasi realitas di mana manusia hidup.Dengan makna dan simbol itu pulalah manusia itu mendefenisikan dunia mereka. Melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan.

Sebagai suatu etnis, suku bangsa Minangkabau juga menggunakan simbol-simbol dalam menyampaikan pesan tentangnilai dan norma dalam berbagai konteks sosial yang ada dalam kehidupan mereka. Simbol-simbol tersebut dapat ditemui dalam bahasa, pakaian, kesenian, tekhnologi, makanan danbahkan permainan.

Permainan sipak rago adalah permainan anak nagari yang menggunakan bola rago sebagai alat permainannya. Bola rago awalnyaterbuat dari anyaman daun kelapa yang dijalin dan berbentuk bulat. Namun dalam perkembangannya saat ini bola yang berkuran dua genggaman tangan itu dibuat dari kulit rotan.

Permainan sipak rago dilakukan oleh 6-10 orang dengan menggunakan teknik tertentu sehingga bola rago tersebut pindah dari kaki ke kaki dan tidak jatuh ke tanah.Setelah diamati secara mendalam ternyata permainan ini tidak hanya mengandung nilai estetika atau keindahan, akan tetapi juga mengandung nilai, etika, norma dan identitas masyarakat Minangkabau.

Menurut Mak Katik, salah seorang budayawan Minangkabau, gerakan permainan sipak rago berawal dari gerakan silek yang dikembangkan dalam bentuk sebuah permainan. “Bola yang datang dari arah kanan diambil dengan kaki kiri dan sebaliknya bola yang datang dari arah kiri diambil dengan kaki kanan, ini merupakan salah satu gerakan dalam silek yang disebut manggelek”, ujarnya menjelaskan contoh gerakan sipak rago.

Bola Rago terdiri dari dua lapis, satu di dalam dan satu lagi melampisi di luar. Menurut salah seorang Tuo Rago kota Padang, bola rago merupakan simbol dari raga manusia. Bola rago yang terdiri dari dua lapis melambangkan tubuh manusia yang terdiri dari dua lapis juga yaitu jasmani dan rohani. Manusia memiliki tubuh kasar (lahir) dan tubuh halus (bathin).Permainan sipak rago dalam menjaga bola rago agar tidak jatuh ke tanah pada hakikatya adalah menjaga agar seorang manusia menjaga dirinya dalam kehidupan bermasyarakat agar tidak jatuh pula kedalam perbuatan yang merusak dirinya baik lahir maupun bathin.

Jika dilihat bola rago bagian dalam memiliki rotan tiga buah yang dianyam sehingga berbentuk bulat. Angka tiga adalah angka yang sering diucapkan oleh masyarakat Minangkabau seperti dalam kata pepatah yang mengatakan “tali tigo sapilin” (tali tiga sepilin/sejalin) dan “tungkutigo sajarangan”. Pepatah adat ini sangat populer sekali dalam membicarakan struktur kepemimpinan di Minangkabau yang terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai. Sedangkan jalin empat-emat pada bola rago bagian luar juga erat kaitannya dengan falsafah adat Minangkabau yang dikenal dengan istilah “kato nan ampek” (kata yang empat) yaitu: kato pusako, kato mufakat, kato dahulu dan kato kudian. Selain ini juga ada istilah angka empat dalam tata cara bertutur kata “tahu jo nan ampek” yaitu: kato mandaki, kato malereang, kato manurun dan kato mandata.

Di dalam permainan sipak rago ini yang diutamakan adalah kekompakkan dan adanya sikap saling menghormati antara sesama pemain di dalam satu tim tersebut. Hal ini dapat dilihat dari cara meloncatkan bola rago ke teman yang berlawanan arah di depan kita dengan cara membungkukkan badan. Penghormatan kepada semua pemain juga terlihat dari cara pemberian bola atau umpan dari kaki ke kaki sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing pemain.

Saat bermain rago, perpindahan bola dari satu pemain ke pemain lain tidak sama, terkadang ada bola itu rendah dan terkadang ada bola itu tinggi. Ada bola yang datangnya lambat, ada pula yang datangnya cepat dan seterusnya. Namun pemain yang cekatan akan selalu bisa menanti dan memainkan bola itu dengan sentuhan terbaik sehingga bola yang tadinya keras bisa lunak lajunya dan bisa diambil oleh pemain lain sehingga irama bola itu menjadi stabil kembali di udara.

Begitu juga halnya dalam perjalanan hidup manusia tak ubahnya seperti perjalanan bola rago tersebut. Perjalanan hidup manusia sangat komplek dan tidak sama antara satu orang dengan yang lain. Dalam kehidupan ada saat susah, senang, sakit, sembuh, ada duka, lara, nestapa, ada hidup dan ada pula yang mati. Untuk menyikapi semua persoalan ini manusia harus mampu menempatkan diri atau prilaku terbaiknya secara lahir dan bathin agar dapat menjaga kesimbangan dalam hidupnya. Jika ia mampu makaakan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Seorang yang mempunyai budi pekerti baik akan selalu dikenang oleh orang lain walupun ia sudah meninggal. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Begitu pepatah mengatakan.  Pepatah Minang mengatakan: Nan kurik kundi, nan merah sago. Nan baik budi, nan indah bahaso.

Dalam sipak rago juga membutuhkan orang diluar diri. Sepintar apapun seseorang dalam bermain, dia tidak bisa bermain sendiri dan pasti membutuhkan orang lain. Nah, dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga begitu adanya. Peran orang lain terutama dunsanak atau kerabat, kawan dan masyarakat sangatlah penting dijaga harmonisasinya agar setiap individu dapat hidup dengan baik menuju kebahagiaan. Sebagai makhluk sosial (zoon politicon)  ternyata manusia memang tidak bisa hidup sendiri. Pada akhirnya ungkapan teologis yang mengatakan Hablumminallah dan Hablumminannas adalah kunci utama manusia untuk menempuh jalan kebahagiaan dunia dan akhirat tidaklah bisa dipungkiri.

Dewasa ini, permainan sipak rago masih dapat dijumpai di daerah pinggiran kota Padang seperti Kuranji, Pauh dan Nanggalo dan daerah-daerah lain di Sumatera Barat akan tetapi di wilayah perkotaan sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Akhir-akhir ini, permainan sepak rago sudah mulai diperlombakan dan sudah banyak grup-grup sepak raga yang mulai bermunculan seperti group sepak rago kapunduang ba abuih di Pauh IX, Juluju di Pasa Lalang, Group Saiyo di Belimbing, Grup Gang Beton dari Koto Tangah dan lain-lain.

Mencermati banyaknya nilai-nilai dan norma kehidupan yang terkandung dalam permainan sipak rago ini, penulis berpendapat bahwa permainan tradisional atau olahraga tradisional ini sangat penting untuk dilestarikan dan dikembangkan agar tetap hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Sehingga apa yang diamanahkan oleh Undang-Undang No. 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan bisa terwujud.

*Pamong Budaya


Tag :#Opini #Masrizal

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com