HOME OPINI OPINI

  • Rabu, 22 Januari 2020

Peradaban Dari Sungai

Diskusi sejarah di Fak Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang
Diskusi sejarah di Fak Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang

Peradaban Dari Sungai

Catatan Yulizal Yunus

 

Seperti apa setting peradaban dunia dimulai dari sungai? Asyhadi Mufsi Sadzali  peneliti/Ketua Jurusan Prodi Arkeologi FIB Universitas Jambi menjawab.

Dalam sebuah diskusi Rabuan, 22 Januari, Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol, Asyhadi menjelaskan hasil penelitiannya dengan topik “Kebudayaan Pra Islam Temuan Baru tentang Sejarah Sumatera Bagian Selatan”. 

Asyhadi menyebut sungai di Sumatera, sebagai awal peradaban dunia pra Islam. Justru sungai jalur perairan satu-satunya, belum ada jalur darat dan udara. Karenanya sungai merupakan jaringan laluan (lintasan), sebagai faktor penting melahirkan peradaban dunia. 

Peradaban dimulai dari sungai sejak pra Islam. Faktanya ditunjukannya dari aspek arkeologi, yang ia sudah melakukan penelitian terakhir dengan ekskavasi situs-situs, termasuk nisan kuno di Kerinci, di samping situs-situs lainnya di gua-gua Kerinci, Padang Roco Dharmasraya, Tanah Datar dan Limapuluh Kota.

Disebutnya Nisan Kuno di Kerinci mirip Tanah Datar dan dari aspek turbah (nisan) menyerupai menhir di Mahat, Limapuluh Kota.

Penulis menyebutkan, penemuan manuskrip Ujung Tanah oleh Uli Kosok di Kerinci, disebut bagian dari hukum yang berlaku di Dharmasraya. Lalu, seperti apa mapping Kerinci dan Dharmasraya, tentulah bukan mapping wilyah yang rentan sengketa. Tapi mapping subkultur dan kerabat matrilineal.

Tentu saja seperti kata Sutan Riska Tuanku Kerajaan/Bupati Dharmasraya, wilayah Dharmasraya dahulu tentu tidak seterbatas kabupaten sekarang. Penting kita fasilitasi selidikteliti sejarah masa lalu itu dengan lengkap.

Terakhir saya mendapat info menarik terkait sumber manuskrip Tuanku Slayo penting diteliti. Dalam manuskrip itu disebutkan Ujung Tanah itu kerajaan dekat Solok. Tidak disebutkan apakah ketika itu masuk subkultur Dharmasraya dari perspektif kerajaan payung kerabat.  

Dalam menelisik ini, menambah penting situasi penelitian Asyhadi; Sejarah dari perspektif situs. Dalam penelitiannya terakhir, Asyadi menemukan banyak megalitik Kerinci, di antaranya 34 situs penting. Ia menduga turbah atau nisan kuno Kerinci berkaitan dengan megalit Mahat. Baik dilihat arah makam, nisannya tidak mengarah kiblat, menunjukan zaman pra-Islam. Megalit di Kerinci yakni “Batu Patah Pulau Sangkar” apakah dalam pengaruh Pagaruyung, ia mempertanyakan.

Justru melihat penting diperhatikan motif di dalamnya: figure (manusia), fauna seperti gambar burung merak, hewan lain menggambarkan figure saman (dukun). Motif penting lainnya yang tereksplisit, flora dan geometris. 

Asyhadi melihat penelitian sejarah tidak hanya dari aspek arkeologi saja. Juga ia melihat penting dari berbagai aspek, di antaranya aspek teknologi, ideologi, sosbudhum, kearifan lokal, seni rupa, titus, religi, literatur, budaya dan transportasi.

Justru bagaimana bisa melihat Kerinci dan kemiripannya dengan yang di Pagaruyung. Seolah motif yang digunakan dalam seni rupa, sama-sama sinabung generasi tua sejak 2000 tahun lalu ke generasi baru di dua wilayah subkultur itu. 

Untuk situs batu bersurat di Kerinci dan Pagaruyung, menggambarkan motif dan tulisannya digunakan tintanya ada dari olahan cairan dari cangkang kerang. Ternyata cangkang kerang ini tidak saja digunakan untuk bahan kapur pemakan sirih dalam budaya dasar Minangkabau, tapi juga bahan tinta untuk melukis.

Ada masjid kuno Pondok Tinggi Kerinci, ukirannya menggambarkan kebelanjutan budaya lama kepada yang baru. Artinya motif seni rupa wujud lukis belanjut dari masa ke masa. Hanya saja (dalam bentuk nada bertanya) Asyhadi masih mencari penjelasan apakah pada masa Islam sekarang, motif yang sama dahulu dengan sekarang masihkah dimaknai dengan arti yang sama?

Namun peserta diskusi berkeyakinan, justru Islam datang, tak menghapus kebudayaan lama, tapi menggarami – menggulai dan secara bertahan mengembalikan arah kepada akidah yang benar.

Asyhadi juga mengekspos penemuan tim Balai Arkeologi Sumut dan BPCB Sumbar mengenai situs Ngalau Tompok, Situmbuk, Salingpaung Tanah Datar. Di dalamnya terdapat situs batu bersurat dengan tulisan karakter Arab, tapi masih sulit dibaca. Ia menyebut usianya setelah  Islam datang.

Penulis memberi catatan, setiap ada tulisan Arab sering dikaitkan dengan zaman Islam masuk dan berkembang, tidak selamanya benar. Justru dapat pula dikaitkan dengan era perdagangan Arab. Justru orang Arab sudah berdagang ke Minangkabau melalui jalur perairan, seperti ke Dharmasraya sudah sejak sebelum masehi menurut catatan Asbir Dt. Mangkuto, dan mereka dekat dengan istana Raja.

Sampai era Islam mereka dekat dengan raja dan mengembangkan Islam melalui 4 kluster kerabat di rantau: sapiah balahan (keturunan ibu), kapak radai (mekaran dan limpahan keturunan ibu ke negeri sebelah rantau), kuduang karatan (keturunan saudara laki-laki ibu di rantau) dan timbang pacahan (mekaran dan penyebaran komunitas keturunan saudadar laki-laki di rantau). Kerabat ini sampai ke Arab seperti kerabat Pagaruyung di Thaif, masih berhubungan sampai sekarang.  

Pedagang Arab pun ada yang tertarik tinggal di kawasan hulu sungai, seperti disebut  pemukiman Arab di Batu Patah. Mereka mengamati masyarakatnya pada tingkat keberimanannya, sudah mengklaim seperti tingkat keberimanan orang Minang di sana, sudah beriman seperti umat para nabi-nabi sebelumnya. Disebutnya dengan ungkapan “mukminan (g) kanabawi (u)” yang kemudian berevolusi menjadi asal kata Minangkabau.

Penulis menjelaskan, setiap ada situs bertulisan Arab, tak selalu konotasi masa masuk Islam, tapi juga bermakna dagang komunitas Arab. Artinya tulisan Arab lama di situs-situs tidak selalu kaitan zaman Islam masuk tetapi juga berkaitan dengan orang Arab datang berdagang.

Justru mereka telah berdagang kapur barus melalui perairan seperti sungai Batanghari yang hulunya di Dharmasraya. Justru pula dalam tambo Sriwijaya disebut, bahwa Sriwijaya tidak bisa dipisah dengan Dharmasraya dan Jambi berintegrasi menjadi satu. Dharmasraya dengan Swarnabhumi ibu kota di Jambi adalah pemula dan pelanjut Sriwijaya yang menjadi pilar pertama sejarah Indonesia.

Ditunjukkan fakta ketika Sriwijaya runtuh, semua peralatan istana raja dipindahkan ke Dharmasraya pusat Swarnabhumi itu. 

Asyhadi menyebut ekskavasi Univesitas Jambi dan UI dan Pemda Tanjung Jabung Timur, menemukan cagar budaya “Kapal Kuno Lambur Tanjung Jabung”, Jambi. Ia mengaitkan dengan Saba’ (zabas) Jambi.

Temuan baru kapal ini hasil ekskavasi, memperlihatkan bagian dek kapal, panjang kapal 24 meter. Teknologinya bergaya teknologi “pasak” paku ala Minangkabau. Type, kapal dagang, karena di situ ditemukan ada balok-balok kayu. Usianya se-zaman dengan Sriwijaya. 

Kalau disebut zaman Sriwijaya, Sabak dan Muara Jambi pastilah berkaitan dengan hulu Batanghari Dharmasraya. Sabak dan Muara Jambi, Dharmasraya ketika terintegrasi dengan Sriwijaya dalam perspektif mapping subkultur Minangkabau lama, pastinya kawasan subkukultur yang satu itu juga “rantau Minangkabau Hilir”.

Jangan-jangan “Kapal Kuno Lambur Tanjung Jabung”, itulah di antara kapal yang ditenggelamkan Raja Cola dari India itu, yang menyebabkan lumpuh bandar dan armada Sriwijaya. Tak dapat bangkit lagi walaupun Tribuana pembesar Sriwijya dari Dharmasraya diperintah raja untuk membangun bandar baru “Tumasek” (Singapura lama).

Danil/WD-III Fakultas Adab dan Humaniora/pakar sejarah menyebutkan, terasa penting penelitian Sriwijaya dan posisi Gunung Singuntang-Guntang yang banyak disebut tambo.

Asyadi membenarkan, karena paradigma Palembang di generasi milineal sekarang berubah, ke arah pariwisata, tak sesakral dulu memandang Bukit Siguntang.

Asyhadi mempertanyakan Sabak apakah pelabuhan atau kerajaan? Peserta diskusi memberi alternatif jawaban, pada masa abad 7-13 itu muara itu menjadi kota pelabuhan dagang (disebut bandar) sekaligus kerajaan. Ada raja di situ. Analognya baca sejarah Banda-X di pantai Barat Sumatera, merupakan pelabuhan kota dagang yang diperintah oleh seorang raja, 10 bandarnya 10 pula rajanya.

Sungguhpun demikian demikian, apakah Sabak itu kota atau kerajaan, yang lebih penting itu adalah pertanyaan Sudarman pakar sejarah/ WD-I Fakultas  Adab dan Humaniora, bahwa situs kapal kuno Lambur Tanjung Jabung Jambi yang baru ditemukan itu, menginspirasi seperti apa model dan type kapal orang Minang.

Belum ditemukan situs kapalnya di pantai Barat tempat percaturan perdagangan dunia abad ke-17 – 18 itu, justru orang Minang itu orang bahari dan pedagang memalui perairan juga. Kata Asyhadi diakui belum ditemukan situsnya.

Penulis dibagian akhir mengingat pakar sejarah Gusti Asnan yang ahli pantai barat dan kawan penulis, I-KTM yang pakar sejarah dalam dimensi spiritual Minang yang banyak tahu tentang situs-situs penting yang menyebar di nusantara. Bagian penting pemikiran penelitian mantel situs dan tambo Minangkabau kedepan koloborasi berbagai perguruan tinggi dan lembaga pemerintah yang mengawal kebudayaan.


Tag :#sejarah #opiniyuyu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com