HOME OPINI OPINI

  • Selasa, 22 Mei 2018

Siapa Peduli Petani

H. Nofi Candra, SE
H. Nofi Candra, SE

Pertanian masih menjadi salah satu kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional, begitu pula dengan daerah-daerah utama sentra pertanian.  Namun produktifitasnya kian menurun,  kualitas kontribusinya semakin tak membahagiakan.  Risikonya,  tenaga kerja yang mayoritas bergantung pada sektor ini juga kian tak pasti kehidupannya.  Sebagian persoalan yang dialami petani terletak pada masalah fluktuasi harga komoditas, namun  sebagian lagi justru sangat bergantung kepada masa panen dari komoditas itu sendiri.

Siklus panen menjadi bagian dari kelangsungan hidup para petani.  Jika sampai terjadi gagal panen,  maka para petani akan terimbas masalah tambahan.  Utang akan semakin menumpuk,  beban hidup semakin berat,  dan kelangsungan kehidupan keluarganya pun akan semakin terancam. Siklus hidup semacam ini akan terus membayangi kualitas regenerasi keluarga petani.  Kualitas hidup anak-anak mereka akan semakin terancam. Kesehatan anak-anak para petani sangat bergantung kepada kantong orang tuanya.  Semakin baik penghasilan petani,  maka akan semakin baik nutrisi yang didapatkan keluarga mereka.  Tapi jika gagal panen yang terjadi,  asupan nutrisipun kian tak pasti.

Tak hanya sampai di situ.  Asupan nutrisi yang kurang berkualitas akan setali tiga uang dengan kualitas perkembangan intelektualitas anak petani.  Anak-anak yang memiliki nutrisi baik cenderung mengalami perkembangan intelektual yang baik.  Namun anak-anak yang kurang asupan nutrisi,  perkembangan intelektualnya justru cenderung memburuk.  Malas belajar,  malas bersekolah,  bahkan tak jarang kemudian memutuskan untuk tidak lanjut sekolah karena harus ikut memikul beban ekonomi keluarga.

Dilematika lainya,  jika para petani berhasil melewati masa krisis dan mampu meningkatkan taraf hidupnya,  lalu menghasilkan anak-anak yang berpendidikan modern di daerah perkotaan,  ancaman selanjutnya datang dari sisi degenerasi.  Petani justru kian kekurangan penerus.  Anak-anak yang sempat dikirim ke kota untuk menimpa ilmu,  justru enggan kembali ke desa dan enggan memajukan usaha pertanian orang tuanya.  Untuk kalangan petani yang mengantongi lahan sedikit,  pendidikan dianggap sebagai salah satu solusi untuk keluar dari jerat kemiskinan sektor pertanian.  Anak-anak yang bersekolah diharapkan menjadi "seseorang" yang akan mengeluarkan keluarganya dari kemiskinan sektor pertanian. 

Dengan kondisi itu,  praktis yang tersisa berjuang di sektor pertanian adalah yang memang terpaksa menjadi petani karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan di luar sektor ini.  Pertanian menjadi sektor turun-temurun yang dilakukan karena keterpaksaan.  Sehingga tak heran,  komoditas pertanian hasil garapan petani dianggap berkualitas di bawah standar.  Petani sawit misalnya,  mereka cenderung mendapat harga jual yang jauh lebih rendah dibanding sawit hasil perkebunan milik korporasi. 

Beruntung bagi petani padi. Komoditas padi sudah umum di mana-mana,  sehingga hampir semua petani paham bagaimana cara mengasilkan padi dan beras yang baik, sekalipun masih sering dilanda kejatuhan harga di saat panen.  Sementara untuk petani holtikultura, misalnya,  tak sedikit yang mengeluhkan soal kurangnya sentuhan teknologi, kurangnya sumber pembiayaan untuk berproduksi,  dan lemahnya institusi sosial pendukung. Sehingga kualitas komoditas yang dihasilkan kurang mendapat jaminan mutu dan pemasaran komoditas pun tak terlembagakan dengan baik.  Walhasil,  penguasaan tengkulak jauh lebih besar ketimbang penghasil komoditas holtikultura itu sendiri.  Logika lainya,  tengkulak pula yang akhirnya paling banyak mendapat untung dari disparitas harga jual di level petani dan harga jual di level konsumen.

Jika kita lihat data yang ada,  jumlah penduduk Indonesia menurut data Kementerian Dalam Negeri per 30 Juni 2016 mencapai 257.912.349 jiwa. Dengan jumlah yang sebesar itu,  berarti bahwa jumlah mulut yang harus tercukupi memang sangat besar. Seharusnya ini menjadi peluang bagi petani dengan segala komoditas yang mereka hasilkan karena pasarnya sangat besar.  Dengan kata lain, jumlah penduduk yang perlu makan juga sebesar jumlah penduduk kita. Namun masalahnya,  jumlah produsen pangan, yakni petani, ternyata terus menurun. Data BPS sampai Februari 2017 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian hanya 39,68 juta orang atau 31,86 persen dari jumlah penduduk bekerja Indonesia. Celakanya, dari jumlah tersebut ternyata sebagian besar tercatat sudah berusia tua.

Itu berarti bahwa hanya ada 15,38 persen petani yang produktif untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan nasional. Persoalannya ternyata tak sampai di situ, menurut catatan Kementerian Pertanian (Kementan), terjadi penurunan lahan pertanian 100.000 hektar per tahun, dengan 80 persen terjadi di sentra produksi pangan. Di tengah jumlah petani dan lahan garapan yang menurun, kemudian Kementan mengklaim jumlah produksi pangan, terutama beras, terus meningkat bahkan surplus. Terdengar sedikit kontradiktif memang. Tetapi taruhlah produksi memang meningkat seiring besarnya jumlah subsidi pertanian, intensifikasi, dan industrialisasi pangan.

Dengan kata lain, anggap saja Kementan benar bahwa stok sejatinya tak bermasalah, sekalipun ada cerita soal gagal panen di beberapa daerah. Yang justru menjadi pertanyaan kemudian adalah kenapa dengan klaim surplus pangan, harga di pasar masih tinggi bahkan cenderung mengalami kenaikan yang cukup signifikan? Bahkan kenaikan harga beras sudah melambung hampir 10 persen. Oleh karena itu, diwajari pula mengapa pemerintah diharuskan untuk segera bertindak dengan kebijakan impor sebelum harga makin menggila.

Jadi dari perbandingan data di atas,  ada irisan bahwa penurunan dan penuaan pelaku pertanian berbanding lurus dengan pengurangan lahan pertanian dan pengeringan sumber daya petani.  Sementara kita tidak bisa memungkiri bahwa perut yang harus diberi makan dari waktu ke waktu semakin bertambah,  sementara sektor yang harus memenuhinya justru mengalami pengerdilan akut.  Lahan berkurang,  SDM pun demikian,  dan harga-harga yang didapat oleh pelaku produksi pertanian pun terus terganggu oleh harga-harga komoditas yang sama yang didapat dari impor.  Pertanyaan penutupnya, masih adakah yang memikirkan nasib petani dan masa depan sektor pertanian kita? Semoga masih ada. Semoga.

 

Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia/DPD RI


Tag :#Nofi candra #DPD RI

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com