HOME OPINI OPINI

  • Minggu, 7 April 2019

Tentang Ciracau Barau Barau

Muhammad Nazri Janra
Muhammad Nazri Janra

Tentang Ciracau Barau-Barau

Oleh: Muhammad Nazri Janra


Jika ada pekerjaan paling sulit di dunia ini, salah satunya adalah menasehati orang lain. 
Manusia dilahirkan dengan seperangkat akal, pikiran, nalar serta emosi kejiwaan yang dalam satu sisi memberikan mereka kelebihan daripada makhluk hidup lain yang ada di dunia ini. Tapi di lain pihak, kemampuan tersebut kadang-kadang menimbulkan rasa ‘lebih’ dibandingkan dengan orang lain. Sehingga, dari sinilah timbul istilah ‘tinggi hati’ atau ‘sombong’ tersebut.

Sebagai makhluk sosial yang mau tidak mau harus selalu berinteraksi dengan sesamanya, maka pergesekan yang disebabkan oleh intrusi seseorang ke orang lain dalam ranah nasehat menasehati pasti akan selalu terjadi. 

Lain lagi ceritanya dengan masyarakat di Minangkabau. Sebagai suatu komunitas yang dikenal dengan prinsip ‘alam takambang jadikan guru,’ orang Minang sangat mengerti dengan prinsip-prinsip memberikan nasehat kepada orang lain ini, terutama kepada generasi mudanya. Pemberian nasehat ala orang Minang dilakukan dengan menggunakan ibarat, kiasan, pepatah, atau seni berbahasa lainnya, terutama dengan mengambil contoh kepada alam yang ada di sekitar. 

Kelaziman penggunaan bahasa-bahasa kiasan alam di masyarakat Minangkabau melibatkan serangkaian proses seperti pemaknaan kejadian di alam yang sesuai untuk dijadikan sebuah kiasan, pemakaiannya di dalam percakapan sehari-hari serta saling pemahaman tentang apa yang hendak disampaikan melalui bahasa kiasan tersebut. Semua proses yang disebutkan di atas, membutuhkan kejelian berpikir serta kesantunan dalam menyampaikan dan menerima serta memaknai kiasan-kiasan yang digunakan. 

Salah satu contoh kiasan atau ibarat tersebut adalah “bakicau sarupo barau-barau.”
Sebagai salah satu bahasa kiasan yang telah lama digunakan, banyak yang bisa diartikan dari yang satu ini. Kiasan ini berarti seseorang yang berbicara tanpa henti, selalu saja ada bahan yang diceritakan bahkan lebih cenderung bersifat cerewet. Biasanya, kiasan ini diucapkan dalam nada tertentu yang menggunakan tanda seru dan berfungsi untuk menegur seseorang secara halus. Kadang-kadang, orang tua juga mengatakan kiasan ini kepada anak-anaknya yang cerewet berbicara tentang sesuatu. 

Bagi kita yang masih belum tahu sepenuhnya dengan jenis tersebut, burung ini lebih akrab dengan nama ‘Cucakrowo,’ ‘Cucak Rawa’ atau ‘Cangkurawah.’ Secara ilmiah dinamakan dengan Pycnonotus zeylanicus (Gmelin, 1789) dan masih satu keluarga dengan burung kutilang atau marabah (merbah) yang sekarang lebih mudah dijumpai. Penyebaran burung ini dimulai dari Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa Barat. Suara burung ini berupa siulan merdu bersahut-sahutan yang diulangi berkali-kali terutama oleh individu jantan. Suaranya yang seperti meledak-ledak tersebut adalah faktor utama yang membuat orang sangat tertarik untuk memelihara di dalam sangkat untuk dapat dinikmati. 

Penggunaan ‘barau-barau’ di dalam bahasa kiasan, secara sekilas menggambarkan bahwa jenis ini dahulunya cukup banyak terdapat di sekitar masyarakat kita walaupun tentunya tidak seperti kita melihat burung gereja yangs sekarang ada di sekitar kita. Kesimpulan ini dapat ditarik, karena penggunaan suatu benda di alam dalam bahasa kiasan tidak saja harus diketahui oleh orang yang mengucapkan kiasan tersebut tetapi juga oleh orang yang dijadikan sebagai sasarannya tanpa perlu diterangkan terlebih dahulu oleh si pembicara pertama.

Barau-barau harus menjadi semacam ‘pengetahuan umum’ oleh masyarakat ketika kiasan tersebut diciptakan, yang biasanya difasilitasi oleh keberadaan objek tersebut yang juga umum dilihat oleh masyarakat waktu itu. 
Hal ini tentunya menjadi semacam nostalgia bagi para pemerhati lingkungan dan pelindung kelestarian alam karena menjadi semacam impian kondisi utopia kehidupan antara manusia dengan alam sekitarnya. Burung yang telah dilindungi oleh berlapis peraturan ini, mulai dari status Rentan (Vulnerable) oleh badan perlindungan alam Perserikatan Bangsa-Bangsa ‘International Union for Conservation Nature,’ Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990, Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 Tahun 1999 serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. 20 Tahun 2018, sekarang hanya bisa ditemukan di dalam sangkar atau aviary pemelihara burung berkicau. 

Barau-barau, di lain pihak, telah sangat langka untuk bisa dijumpai di hutan-hutan yang masih tertinggal di Sumatera atau daerah lain yang menjadi penyebarannya. Penyematan status rentan tadi bermakna jumlah populasi alamiah yang ada di alam benar-benar sudah dalam jumlah yang mengkhawatirkan untuk dapat menjamin kelangsungan jenis tersebut, jika tidak dilakukan upaya-upaya tertentu untuk menjamin keberadaannya. Tidak mudah bagi seseorang untuk dapat melihat, atau memiliki burung ini, karena di samping jumlahnya yang semakin sedikit, harganya juga semakin meroket karena tidak banyak yang bisa menernakkannya. 

Seiring dengan makin mengecil dan mulai punahnya populasi barau-barau di alam liar, dikhawatirkan juga tidak ada lagi yang menggunakan bahasa kiasan ‘bakicau sarupo barau-barau’ ini. Bagaimana mau digunakan, jika yang mengatakan kiasan dan menerima kiasan sama-sama tidak tahu lagi yang mana yang barau-barau itu sendiri. 

Apakah ini menjadi pertanda bahwa kiasan baru harus mulai diciptakan untuk memberitahukan hal yang sama? Atau mungkin masyarakat Minangkabau tidak perlu lagi menggunakan bahasa kiasan sama sekali, karena setelah tergerus oleh arus modernitas orang-orang cenderung menjadi pribadi yang kaku dan ‘to-the-point’ saja? Karena sekali lagi, mengulangi apa yang telah disampaikan di bagian awal tulisan ini, bahwa salah satu fungsi kiasan adalah untuk memperhalus budi serta mempermanis bahasa. Sehingga jika tidak lagi diamalkan, apa yang bisa diharapkan dari perilaku bersosial seseorang?

Salah satu alternatif yang bisa menjadi pemecahan yang menguntungkan bagi semua pihak (termasuk barau-barau itu sendiri) adalah dengan ikut menyukseskan program pelestariannya bersama-sama dengan beragam jenis makhluk hidup lain yang juga terancam keberadaannya. Tentunya pelestarian jenis-jenis burung ini paling baik dilakukan di lingkungan alamiahnya, walaupun melestarikan di habitat buatan juga termasuk ke dalam upaya ini. Sehingga anak cucu dan keturunan kita nantinya masih dapat melihat apa itu barau-barau dan tentunya bisa terus menggunakan ‘bakicau sarupo barau-barau’ tadi di dalam percakapan sehari-harinya. 


Tag :opiniMuhammadNazriJanra

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com